
Warisan budaya dari nenek moyang Indonesia sangatlah banyak. Salah satunya berbentuk bangunan tradisional dengan desain arsitektur yang unik. Banyaknya provinsi di Indonesia juga menjadi alasan adanya perbedaan di setiap rumah adat tersebut. Bahkan dalam satu provinsi bisa terdapat dua bahkan lebih rumah adat dengan desainnya yang beragam pula.
Tahukah Sobat Ars provinsi mana di Indonesia yang disebut sebagai Bumi Rafflesia? Provinsi ini dikenal dengan julukan tersebut karena bunga Rafflesia arnoldi itu tumbuh di wilayah tersebut. Atau apakah kamu tahu provinsi mana yang berada di bagian barat daya Sumatera? Jawabannya ialah Bengkulu. Provinsi Bengkulu mempunyai banyak seni tari tradisional, ada juga seni musik Gerotan. Yang tak kalah terkenal yakni kerajinan tradisional batik Besurek. Namun peninggalan sejarah yang Arsminimalis akan bahas adalah rumah adatnya.
Rumah adat Bengkulu dibangun dengan mempertimbangkan banyak hal, termasuk wilayahnya yang berada di area rawan gempa. Bengkulu terletak di radius 150 kilometer dari zona subduksi (tumbukan) antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang sangat aktif. Dengan keadaan yang demikian, konsep rumah panggung dipilih sebagai desain bangunan tradisional tersebut. Rumah panggung dipercaya dapat lebih tahan terhadap guncangan saat gempa terjadi.
Rumah adat bernama Bubungan Lima ini menggunakan penyangga rumah sebanyak 15 buah tiang dengan tinggi 1,5 meter. Tiang-tiang itu kemudian ditumpangkan ke atas batu datar berukuran besar agar bisa meredam guncangan gempa. Adanya batu datar tersebut juga memiliki fungsi sebagai pencegah tiang lekas lapuk. Seperti bangunan tradisional lainnya yang dibuat layaknya rumah panggung, posisi tinggi itu dapat mengantisipasi adanya gangguan dari hewan buas. Apabila bencana alam seperti banjir terjadi, bagian dalam Bubungan Lima masih bisa bebas dari terpaan air. Rumah yang dibangun tinggi membutuhkan tangga untuk dapat masuk. Tangga di luar rumah dapat Sobat Ars hitung dan bisa dipastikan jumlahnya ganjil. Mengapa demikian? Karena masyarakatnya percaya bahwa agama Islam menyukai angka ganjil.

Rumah yang memiliki bagian kosong di bagian bawahnya membuat sirkulasi udara bisa masuk ke dalam melalui berbagai arah, dari atas, samping, juga bawah. Maka rumah akan terasa lebih sejuk sebab jalannya udara tak terhalang. Pada Bubungan Lima, sisi bawah rumah juga dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan. Yang disimpan berupa peralatan pertanian, hasil panen, kayu bakar, serta perlengkapan lain. Ada pula yang memakai bagian itu sebagai kandang hewan.
Fungsi bangunan tradisional Bengkulu ini adalah sebagai hunian ketua adat. Maka dari itu Bubungan Lima sering dijadikan tempat beragam ritual adat, seperti kelahiran, penyambutan tamu, pernikahan, bahkan kematian. Rumah adat Bengkulu satu ini memang lebih dikenal dengan nama Bubungan Lima. Namun beberapa warga juga menyebutnya sebagai Bubungan Haji, Bubungan Limas, atau Bubungan Jembatan. Rumah ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1916-an. Kata lima pada namanya merujuk pada atap rumah yang berbentuk limas.
Bagian-bagian rumah Bubungan Lima terbagi menjadi tiga. Ada bagian atas, tengah, dan bawah. Bagian atas yaitu atap rumah. Atap dibentuk limas dengan ketinggian 3,5 meter terbuat dari ijuk pohon enau. Pecu atau plafonnya menggunakan material papan, sebagian ada juga yang memakai pelepah bambu. Untuk menghubungkan rumah dengan bagian atas digunakan balok-balok kayu yang disebut peran.

Kemudian bagian tengahnya adalah bagian kerangka rumah. Kerangka Bubungan Lima yang tahan gempa terbuat dari kayu kemuning atau lebih dikenal dengan kayu balam. Kayu balam diketahui mempunyai karakteristik yang lentur tapi dapat tahan hingga ratusan tahun. Dinding memakai material papan, jendela ada yang dibuat berbentuk ram atau biasa, serta lubang angin diletakkan pada bagian atas jendela atau pintu.
Sisi bawahnya ialah lantai yang dibuat dari papan, pelepah, dan bambu. Agar lantai lebih kuat, terdapat bidani yang terbuat dari bambu tebal. Kolong rumah yang kosong mengharuskan pemilik Bubungan Lima membuat lantainya tak mudah ‘ompong’. Lantai yang kuat membuat orang dengan maksud jahat tak dapat masuk ke rumah dengan cepat. Bahan hewan buas juga akan kesusahan untuk menerobos masuk.
Bubungan Lima memiliki susunan ruangan yang tidak seperti rumah adat lainnya. Pertama ada berendo. Untuk menerima tamu yang dikenal pemilik rumah, akan diantar ke ruangan berendo. Selain itu, ruangan ini juga dipakai untuk bersantai di pagi dan sore hari. Lalu ada ruangan aula atau hall. Aula hanya diperuntukan untuk tamu yang sangat dikenal oleh pemilik rumah atau tokoh yang disegani. Kemudian ada bilik gedang yang merupakan kamar utama, biasanya ditempati oleh pasangan suami-istri atau anak kecil yang belum disapih. Selanjutnya ada bilik gadis, ruangan untuk si gadis atau anak perempuan.
Jika ruang tengah pada tempat hunian era sekarang diisi beragam perabotan, berbeda dengan yang ada di Bubungan Lima. Ruang tengah Bubungan Lima tidak diisi barang sama sekali atau dikosongkan dan hanya terdapat tikar. Fungsi ruangan ini untuk menerima tamu ibu rumah tangga atau keluarga dekat anak gadis. Di malam hari, ruang tengah menjadi tempat tidur untuk anak lelaki. Lalu ada juga ruang makan dan dapur. Selain itu, Sobat Ars dapat menemukan gerang atau garang di rumah ini. Garang ialah tempat untuk menyimpan tempayan air. Gerang dikenal dengan sebutan gerigik yang juga memiliki fungsi sebagai tempat membersihkan peralatan dapur.
Dalam Bubungan Lima dapat dilihat beragam ukiran tembus dan timbul. Dijelaskan penelitian yang dilakukan oleh Ridho Anandy berjudul Studi Tentang Bentuk dan Penempatan Ukiran Rumah Adat Bubungan Lima Bengkulu bahwa ada sebelas pola ukiran yaitu pohon ru, pohon hayat, bunga melati, pucuk rebung, daun, kembang empat, rafflesia, paku lipan, matahari, kipas, dan anak tanggo. Dari sebelas ukiran tersebut dapat disimpulkan bahwa semuanya berkaitan dengan flora, fauna, dan geometris.

Bentuknya khas, ukurannya pas, desainnya pantas. Namun zaman dapat mengancam keaslian bangunan. Beberapa Bubungan Lima sudah mengganti atap dengan material seng, tak seperti aslinya. Setidaknya jangan sampai Bubungan Lima termakan zaman. Lestarikan bangunan sesuai peninggalan nenek moyang berdasar ‘catatan’. Bangunan rumah adat merupakan anugerah yang kita dapat dari leluhur terhebat.