
Kalau melihat banyaknya mahasiswa rantauan di Kota Malang, pasti yang terbanyak berasal dari Kalimantan. Sampai ada julukan bahwa Kota Malang merupakan rumah kedua bagi anak Kalimantan. Kalimantan sendiri memiliki beberapa provinsi dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, serta Kalimantan Selatan.
Kerap kali kita jumpai mahasiswa berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Hal itu dengan mudah disadari dari logat bicaranya yang sangat kental. Selain penggunaan bahasa serta logat yang khas, di Kalimantan Selatan, tepatnya berlokasi di Jalan Habirau, Desa Habirau, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kecamatan Daha Selatan, terdapat rumah adat suku Banjar yang masih berdiri tegak.
Rumah Bubungan Tinggi menjadi topik bahasan kali ini. Rumah adat ini merupakan salah satu di antara banyaknya rumah adat suku Banjar. Selain Rumah Bubungan Tinggi, ada 10 rumah adat suku Banjar lainnya yaitu Gajah Baliku, Gajah Manyusu, Balai Laki, Balai Bini, Palimasan, Cacak Burung atau Anjung Surung, Tadah Alas, Lanting, Bangun Gudang, dan Palimbangan.

Rumah Banjar atau Rumah Baanjung menjadi nama lain dari Bubungan Tinggi. Rumah Bubungan Tinggi menjadi yang paling nge-trend di antara 11 rumah adat suku banjar lantaran menjadi tempat tinggal bagi raja dalam suatu pusat sentral kediaman. Rumah ini memang merupakan bangunan inti kompleks istana. Rumah adat suku Banjar yang lain juga merupakan bagian dari kompleks istana.
Jurnal NALARs karya Wafirul Aqli dengan judul Anatomi Bubungan Tinggi Sebagai Rumah Tradisional Utama dalam Kelompok Rumah Banjar mengutip peribahasa Banjar yang berbunyi “Bubungan Tinggi wadah raja-raja, Palimasan wadah emas-perak, Balai Laki wadah penggawa mantri, Balai Bini wadah putri gusti-gusti, Gajah Manyusu wadah nanang-nanangan atau gusti nanang.” Dari peribahasa itu dapat diketahui bahwa semua rumah adat Banjar memang dibangun untuk penghuni dengan status sosial yang didapat.
Diberi nama Bubungan Tinggi karena atap pelananya yang memiliki sudut 46 derajat kecuraman. Rumah Bubungan Tinggi dibangun sekitar tahun 1867 M oleh H. Muhammad Arif. Selain untuk raja, Bubungan Tinggi juga biasa dibangun oleh pedagang yang kaya raya, seperti H. Muhammad Arif. Saat memperjuangkan kemerdekaan, dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, rumah ini diisi oleh para pejuang kemerdekaan sebagai markas serta tempat latihan.

Banyaknya macam kayu di Kalimantan membuat rumah-rumah zaman dahulu terbuat dari kayu. Bubungan Tinggi juga menggunakan ragam kayu di seluruh bagian rumah. Kayu yang terkenal dengan keawetannya serta tahan air dan panas, kayu ulin, dipakai untuk bahan pembuatan tiang, gelagar, rangka pintu dan jendela, serta atap. Kayu galam dan kapur naga digunakan untuk pondasi rumah karena dapat bertahan sampai 70 tahun lamanya di daerah berawa. Bagian dinding menggunakan bahan utama kayu lanan. Kayu damar putih dijadikan material pembalokan atau gelagar. Bambu atau yang dikenal masyarakat Banjar dengan nama paring banyak dipakai untuk lantai dapur. Dahulu dipakai daun rumbia sebagai penutup atap, tapi seiring berjalannya waktu digunakan kayu ulin sebagai pengganti karena lebih kuat dan tahan lama.
Dengan panjang 35,49 meter, Bubungan Tinggi memiliki lebar 14 meter. Rumah ini dibangun berbentuk panggung dengan panjang tiang 1,5-2,5 meter dari atas tanah. Rumah Baanjung dibuat dengan model panggung karena dibangun di atas daerah yang berawa di tepi sungai. Bubungan tinggi juga dibangun di atas 8 tiang-tiang utama dengan tinggi 9-11 meter.

Dijelaskan pada Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan berjudul Analisis Asal Mula Arsitektur Banjar dengan Studi Kasus pada Arsitektur Tradisional Rumah Bubungan Tinggi bahwa bangunan rumah ini dibuat untuk jangka waktu yang lama. Di mana kunci kekuatan dan kestabilan ada pada sistem struktur rangka kaku dengan tiga elemen utama. Elemen itu meliputi tiang (tihang), balok watun (watun barasuk), dan balok pengaku (panapih).

Biasanya di setiap hunian memiliki halaman rumah, sedangkan Bubungan Tinggi tidak dapat memilikinya lantaran dibangun di atas lahan rawa-rawa. Sebagai pengganti, dibuatlah ruang palataran. Palataran ialah bagian paling depan dari Bubungan Tinggi yang hanya beratap sebagian. Palataran memiliki tiga bagian, yaitu palataran depan, tengah, dan dalam.
Palataran depan atau surambi muka mirip seperti teras biasanya. Di bagian inilah terdapat tempat untuk mencuci kaki. Mengapa harus mencuci kaki sebelum masuk rumah? Karena Bubungan Tinggi berada di wilayah berawa yang umumnya becek dan dapat mengotori kaki, maka diharuskan mencuci kaki terlebih dulu agar lebih bersih.
Surambi sambutan atau palataran tengah difungsikan sebagai tempat penerimaan tamu, layaknya foyer. Selain menjamu tamu, tempat ini juga dipakai untuk menjemur padi. Kemudian ada palataran dalam atau lapangan pamedangan. Jika surambi muka hanya ditutupi atap sebagian saja, pada lapangan pamedangan sudah tertutup atap semua. Area ini memiliki pagar dengan tinggi 80 cm dan dijadikan tempat bersantai bagi tamu laki-laki. Untuk tamu perempuan di bagian lebih dalam lagi.
Setelah palatar, kamu akan menemukan lawang hadapan (pintu setelah pelataran). Jika sudah memasuki pintu, kamu akan menemukan ruangan lain, yaitu pacira (ruang antara), panampik kecil (ruang tamu muka), panampik tangah atau penampik panangah (ruang tamu tengah), dan panampik basar atau ambin sayup (ruang tamu besar). Pada ruang panampik mempunyai lantai yang lebih tinggi dari pelataran. Setiap penampik memiliki nama lantai yang berbeda. Panampik kecil memiliki nama lantai watun sambungan, sedangkan panampik panangah dan basar dengan lantai watun jajakan.

Jika diperhatikan, Bubungan Tinggi memiliki bagian ‘sayap’ pada kanan dan kiri rumah yang diberi nama anjung. Ruangan anjung dijadikan kamar tidur untuk orang tua. Di antara dua anjung tadi, terdapat ruangan tengah yang disebut paledangan yang dipakai untuk ruang keluarga. Ruang ini juga dipakai untuk membaca Al-Qur’an pada malam hari dan digunakan para wanita untuk menyulam, merenda, juga menjahit pakaian.
Pada bagian belakang rumah, akan didapati ruang pelayanan. Bagian belakang ini dibatasi dengan tawing pahatan atau dinding pembatas. Di dalamnya terdapat panampik padu yang dijadikan ruang makan, padapuran atau padu merupakan dapur, dan ada jorong yang dipakai sebagai ruang penyimpanan atau gudang.
Bubungan Tinggi diperkirakan berusia 100 tahun lebih. Dengan umurnya yang tua, kita sebagai generasi muda harus segera melestarikan. Dapat dilihat kalau dinding rumahnya sudah berubah warna, tanda kalau ia sudah menua. Jangan sampai rumah adat yang telat kita lestarikan habis dimakan zaman. Maka lakasi sudah pian malastarikan!