Ukuran Kecil Tak Jadi Patokan Muatan Ilmu Mungil

Source : Sanrok Studio / Archdaily.com

Sempat ramai mengenai Indonesia yang menduduki peringkat 60 dari 61 negara tentang minat membaca. Hasil tersebut didapat dari riset yang dilakukan oleh Central Connecticut State University berjudul World’s Most Literate Nations Ranked pada Maret 2016. Menurut data UNESCO, dilansir dari Kominfo.go.id, persentase minat baca di Indonesia hanya 0,0001%. Apabila ada 1.000 orang, maka yang rajin membaca hanya 1 individu saja.

Lukman Solihin, peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud, mengatakan pada Kompas.com bahwa ada empat dimensi indeks literasi. Empat dimensi itu kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Dimensis akses mendapat hasil paling rendah di antara keempatnya. Dari hal tersebut bisa dikatakan bahwa Indonesia masih minim menyiapkan akses untuk membaca, khususnya di tempat atau daerah terpencil.

Tanpa bentuk buku nyata, kita bisa mencarinya di internet karena teknologi sudah maju. Namun di daerah terpencil belum tentu ada sinyal yang memadai. Belum lagi jikalau warga di daerah tersebut tidak berpenghasilan besar sehingga tak mampu membeli telepon genggam. Sekelompok pemuda Karang Taruna di Jalan Bima, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo ternyata sadar akan pentingnya buku.

Pada tahun 2013 pun sekelompok anak muda Karang Taruna tersebut mendirikan Gerobak Baca. Gerakan yang diinisiasi pemuda Karang Taruna ini berupaya untuk meningkatkan minat membaca warga Kelurahan Arjuna.

Dilansir BeritaBaik.id, perwakilan Dompet Dhuafa Jawa Barat Rafdi Almatasalis menjelaskan, “Awalnya, setiap hari Senin sampai Jum’at mereka membawa buku bacaan yang dimiliki keliling kompleks. Khusus di hari Minggu, mereka bikin lapak di lokasi Microlibrary sekarang. Karena antusias anak-anak dan animo masyarakat yang begitu tinggi, pemuda pun nyoba buat usulan perizinan pembuatan perpustakaan. Di saat yang bersamaan, di Bandung sedang diadakan lomba Kampung Juara.”

Source : Sanrok Studio / Archdaily.com

Dengan antusiasme yang tinggi dan tekad pemuda Karang Taruna, akhirnya didirikan perpustakaan kecil di daerah tersebut. Perpustakaan itu diberi nama Microlibrary. Rafdi yang juga menjadi pendamping untuk program Microlibrary memaparkan bahwa nama tersebut berarti perpustakaan kecil. Meski ukurannya kecil, tentu dilengkapi dengan muatan ilmu yang besar.

Baca juga :  Yuk Belajar Tentang Pencahayaan dan Penghawaan yang Baik pada Bangunan Rumah!

Microlibrary didesain oleh Daliana Suryawinata dan Florian Heinzelmann dari SHAU Architerture & Urbanism. Dalam membangun Microlibrary atau Miclib ini, SHAU Architect mempunyai misi menghidupkan kembali ketertarikan dalam buku dengan menyediakan tempat yang mendukung untuk membaca dan juga belajar. Hal itu diinginkan SHAU Architect karena tingkat buta huruf dan angka putus sekolah masih tinggi di Indonesia.

The Architizer A+ Awards 2017 kategori Concepts-Architecture+Community dimenangkan oleh Microlibrary. Architizer A+ Awards sendiri merupakan program penghargaan terbesar untuk produk arsitektur tahunan terbaik sedunia. Ada 400 juri yang menilai karya arsitektur tersebut. Juri-juri tersebut memiliki latar belakang yang berbeda seperti praktisi bidang fashion, penerbitan, desain produk, bahkan para pengembang.

Kerja sama antara Pusat Sumber Belajar (PSB), Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa, SHAU Architecture & Urbanism, Dompet Dhuafa Jawa Barat, dan Pemerintah Kota Bandung ini memang cukup unik. Meski hanya memiliki luas kurang dari 160 meter persegi, bangunan ini memiliki desain yang presisi.

Source : Sanrok Studio / Archdaily.com

Jika diperhatikan dari luar, bagian fasadnya dipenuhi oleh ember es krim bekas. Ada yang dibolongi dan tidak. Susunan ember es krim itu akan membuat binary code (kode binari). Bagian bawah ember menandakan angka satu dan ujung yang lain berarti angka nol. Apabila kode binari diterjemahkan, akan membentuk tulisan “Buku Adalah Jendela Dunia”. Ridwan Kamil selaku Walikota Bandung kala itu sengaja menampilkan kode tersebut guna menyampaikan pesan nyata bahwa bukulah yang menjadi jendela dunia.

Kurang-lebih terdapat 2.000 ember es krim yang dipakai untuk membangun fasad Miclib. Daliana Suryawinata, salah satu perancang desain Microlibrary, mengaku pada Merdeka.com mendapat kendala waktu saat membangunnya. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mengumpulkan ember es krim sebanyak itu. Florian Henzelmann juga menuturkan bahwa total waktu pembangunan adalah tiga bulan. Padahal mereka mengira hanya perlu satu bulan untuk membangun perpustakaan kecil ini.

Baca juga :  Menara Pinishi Bentuk Akulturasi Budaya Tradisional dan Modern

Ember es krim juga ada yang memiliki lubang untuk digunakan sebagai sirkulasi udara. Maka ruangan perpustakaan akan terus terasa sejuk tanpa perlu pemakaian air conditioner. Lubang pada ember juga difungsikan untuk memaksimalkan pencahayaan dalam ruangan. Pada siang hari, cahaya akan masuk ke dalam perpustakaan melalui lubang ember itu. Poin-poin tersebut juga menjadi bukti bahwa Miclib ialah bangunan ramah lingkungan dengan minim penggunaan listrik.

Source : Sanrok Studio / Archdaily.com

Selain fasadnya yang unik, bangunan kecil ini memiliki dua lantai. Lantai pertama dijadikan ruang serbaguna. Ruang itu bagaikan aula mini yang bisa digunakan sebagai ruang pertemuan, arisan, pengajian, dan lainnya. Lantai dasar ini dibangun menggunakan material beton. Sedangkan lantai dua menggunakan material baja.

Pada lantai ataslah ruangan berisi lebih dari 500 eksemplar buku ditemukan. Saat awal diresmikan, Dompet Dhuafa menyumbang sebanyak 150 buku. 387 buku juga didapat dari Bapusipda Kota Bandung. Selain buku pengetahuan umum dan buku anak-anak, ada juga mainan tradisional, alat peraga PAUD, serta banyak kegiatan keilmuan. Kegiatan itu meliputi knowledge sharing, story telling, english club, dan gemar baca. Setiap hari Minggu juga ada kegiatan Bandung Bercerita.

Diberitakan oleh Kompas.com bahwa Microlibrary tidak hanya hadir di Jalan Bima saja. Ada Microlibrary Taman Lansia dengan fungsi sebagai mushala taman lantaran belum ada komunitas yang mau menggerakannya. Ada juga Microlibrary Selasar di Bojonegoro. Miclib satu ini memiliki bentuk seperti selasar yang mengelilingi pohon di tengah-tengahnya. Selanjutnya ada Microlibrary Hanging Gardens di Kiaracondong, Bandung. Untuk yang satu ini, perpustakaan mininya dibuat mirip seperti taman gantung.

Miclib buka setiap hari dari pukul 08.30-17.00 WIB tanpa dipungut biaya. Pelajar hanya perlu menunjukkan kartu pelajar. Masyarakat umum lainnya juga bisa hadir dengan menunjukkan kartu identitas.

Membaca buku itu penting. Dengan membaca buku, ilmu pengetahuanmu akan semakin runcing. Maka tak perlu ambil pusing. Segera injakan kaki ke perpustakaan mini dengan desain yang satisfying.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *