Dinding Dempet Rasa Parasit

Source : Jurnalposmedia/Agnes Agatha

Perkembangan penduduk yang semakin bertumbuh dengan pesat melibatkan semua lini juga ikut merasakan dampaknya. Dengan populasi penduduk yang meningkat ini juga mempengaruhi kebutuhan primer baik berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan pokok berupa papan yaitu termasuk hunian rumah.

Kebutuhan primer inilah yang membuat kita semakin terdesak untuk segera memiliki rumah. Di berbagai daerah yang terdapat permukiman kumuh, kita kerap kali menjumpai rumah – rumah yang berdempetan dengan dinding yang saling menempel. Bahkan terihat “menumpang” dinding pada tetangga.

Rumah yang saling berdempetan dan saling menempel ini bisa menjadi masalah di kemudian hari. Jika sang tetangga mengijinkan rumahnya berdempetan mungkin tidak akan jadi masalah yang serius. Namun rumah yang berdempetan ini lebih memiliki risiko yang lebih serius.

Pada beberapa tahun silam sekitar tahun 2008, rumah saya tepatnya ruko (rumah toko) mengalami kebakaran. Setelah diidentifikasi oleh pihak yang berwajib, kebakaran terjadi karena kebocoran gas LPG. Tetapi untungnya pada malam itu tidak ada seorang pun di rumah karena ruko tutup lebih awal dari biasanya dan tidak ada orang di dalamnya.

Kebakaran hebat pun tak dapat dicegah, beberapa mobil pemadam kebakaran berusaha untuk memadamkan si jago merah ini. Namun, api merambat dengan sangat cepat dan melahap rumah – rumah yang ada di samping kanan – kiri rumah saya.

(Sumber : kalsel.antaranews.com)

Kerugian besar jelas terlihat di depan mata. Apalagi ruko tersebut bukan milik kami pribadi melainkan milik orang lain yang artinya kami mengontrak di sana. Bayangan untuk mengganti rugi tetangga yang terkena dampak dan kepada pemilik ruko rasanya sangat beban. Terlebih kerugian pada barang – barang pribadi milik sendiri.

Meskipun dampak yang ditimbulkan tidak secara langsung, tetapi apakah kita akan menunggu sesuatu yang tidak diinginkan terjadi? Kebakaran yang mudah merambat bukanlah satu – satunya dampak dari rumah yang berdempetan.

Baca juga :  Harga Murah, Asbes Jadi Sebab Nafas Susah (Final Part)

Pada tahun 2011, orangtua saya akhirnya membeli dan membangun rumah sendiri. Namun saat akan membangun dinding, terjadi sedikit perselisihan dikarenakan pipa air yang ada di dalam tanah dikeluarkan oleh salah satu tukang bangunan kami. Tetangga merasa tidak terima karena tanah tersebut merupakan tanah miliknya. Namun ayah saya menyangkal hal tersebut, karena tanah tersebut adalah milik umum namun tidak lagi digunakan. Dengan membawa bukti surat tanah, ayah saya juga menantang pemilik rumah sebelah untuk menunjukkan surat tanah. Namun orang tersebut tidak kunjung muncul seolah – olah takut. Rumah belum jadi saja sudah ada perselisihan, tidak ingin mengulang kesalahan yang sama, ayah saya memberikan jarak dari rumah tetangga.

Hal seperti itu bisa diperkarakan dan dibawa ke hukum. Terlebih lagi tidak memiliki surat – surat yang jelas. Dilansir dari 99.co, di dalam Undang – Undang Peraturan dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 terdapat penjelasan mengenai asas pemisahan horizontal terhadap hak atas tanah. Sementara itu, dalam UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung menyebutkan pula bahwa status kepemilikan gedung dapat berbeda dengan kepemilikan tanah.

Hal mendasar lainnya yang mungkin terlihat cukup sepele namun tetap merugikan yaitu apabila terjadi kegaduhan pada rumah sebelah. Kegaduhan tersebut akan menjalar langsung melalui dinding yang menempel dan mengganggu kenyamanan kita yang ingin beristirahat. Kita juga tidak memiliki privasi untuk mengobrol di dalam rumah karena dinding yang menempel bisa mendengar setiap percakapan.

Rumah yang saling berdempetan juga mengurangi daerah resapan air, sehingga air selalu tergenang dan sulit untuk meresap dalam tanah. Kurangnya saluran air juga dapat meningkatkan risiko banjir. Hal seperti ini sudah banyak dijumpai di daerah dengan kawasan padat penduduk.

Baca juga :  Mengintip Rumah Multikultural di Kota Medan

Permasalahan lain yang bisa saja muncul adalah ketika bangunan atau dinding mengalami kerusakan. Parahnya lagi jika salah satu tidak ada yang ingin memperbaiki dan mengganti. Justru akan merugikan pihak lainnya. Akan saling tuduh dan menyalahkan jika dinding tidak jelas milik siapa. Maka siapa yang akan bertanggungjawab?

sumber : 99.co

Risiko atau dampak yang saya sebutkan tidak akan terjadi jika dinding rumah tidak saling menempel pada tetangga. Perlu adanya jarak antar dinding rumah sehingga hal – hal yang tidak diinginkan terjadi. Setidaknya jarak antar rumah adalah setengah sampai satu meter. Saya pikir jarak segitu cukup aman dalam menghindari risiko yang akan terjadi kedepannya tentu di atas tanah sendiri.

Kerugian – kerugian yang terdampak inilah yang perlu mendapat perhatian khusus. Cukup sepele memang untuk di Indonesia sendiri, terlebih di kawasan yang padat penduduk. Apalagi karena keterbatasan lahan, hal remeh seperti ini banyak diabaikan. Memang dampak yang dirasakan tidak secara langsung namun dalam jangka panjang dan risiko – risiko tidak bisa dihindari pada akhirnya.

Adanya jarak antar rumah juga menambah sirkulasi udara dan pencahayaan. Sirkulasi dan sistem pencahayaan yang baik sangat dianjurkan bagi hunian dengan standar kesehatan. Nah, jika rumah kita saling berdempetan bahkan menempel pada dinding tetangga maka kita akan mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara hanya dari daerah depan saja. Belum lagi jika belakang rumah juga saling menempel pada rumah atau bangunan lainnya. Untuk pembahasan mengenai pencahyaan dapat di baca di sini.

Demi keamanan, kenyamanan keluarga, dan kesejahteraan kita kepada antar tetangga, maka jarak rumah dengan tetangga sebaiknya perlu diperhatikan. Untuk yang sedang atau ingin membangun rumah, jarak antar rumah lebih diberi perhatian khusus agar peristiwa yang tidak diinginkan terjadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *